KOTA ini menjadi bertambah pengap setiap kali anak anak muda yang
berstatus mahasiswa berkumpul di jalan dan segera disergap polisi, lengkap
dengan letusan pistol ke udara, serta lengkingan sirene yang seakan berniat
merobohkan kios kios dari papan di sepanjang pinggir jalan yang pengap itu. Yang pasti debu debu
musim kemarau berterbangan menyesakan dada. Kejar kejaran antara polisi dan
anak muda yang selalu tak kunjung menyurutkan langkah, hampir setiap hari
terjadi. Debu yang liar itu menjadi bertambah sigap dan ringan beterbangan.
Karena seringnya jalan aspal yang berlubang di sana-sini itu digunakan untuk
semua yang bersitegang menuntut kebenaran.
Semua yang menambah kepengapan kota itu sekejap menjadi terbius diam,
saat beberapa mulut lantang meneriakan slogan, “Turunkan BBM…Turunkan TDL!!!,
Turunkan harga sembako!”
“Tutup saja warung kita!” teriak Sukiman kepada istrinya yang berlarian kecil mengemas semua peralatan
warung mi ayamnya. Padahal, asap masih mengepul di kuah ayam yang ada di
dandang besar. Hari ini sekali lagi penghidupan Sukimin dan keempat anaknya
menjadi tergerus pengap dan membaranya
jalan di kota pengap itu.
“Iya, pak aku matikan kompornya dulu. Nanti sore kalau demo sialan itu
sudah rampung, kita buka lagi!” Suaminya hanya mengangguk, sementara keempat
anaknya tidak ada satu pun yang membantunya. Mereka semua aktif bersekolah.
***
“Dooor….door…dor. “ Dalam hitungan menit, suara tembakan peringatan
polisi sudah mengangkasa. Beberapa di antaranya merontokkan satu-dua daun
akasia yang ada di pinggir jalan itu.
Tembakan beberapa pistol polisi itu sama sekali tak menyurutkan niat para anak
muda yang mengusung berbagai atribut di bajunya. Bahkan letusan mesiu itu menyulutkan batu-batu yang bersayap untuk
terbang ke sana kemari.
Beberapa di antaranya mengenai tameng fiber beberapa polisi, sementara
sebagian lagi menghantam atap asbes dan seng warung potong rambut. Kios mi
ayam, warung bakso dan lain sebagainya. Lolongan anjing tua dan lunglai yang
tadinya ganas dan melengking, kini merengek ketakutan.
“Kok tiap hari begini, ya Bang Dul, “ seru Kang Dirman si tukang becak
yang sedari pagi nongkrong di trotoar. Padahal,
sedari pagi belum ada satu penumpang pun yang mengorder dirinya. Wajah
si tukang becak itu menjadi terlipat, lantaran dadanya yang sesak tidak
berhasil mengeluarkan isi hatinya kepada siapa pun. Hanya pada Abdullah, Orang
Padang yang membuka warung makan nasi padang kecil-kecilan.
“Ah, gimana aku mau dapat duit, bang!” Sekali lagi lelaki tua yang
berasal dari pinggiran kota itu mengeluh pada Abdullah.
“Masih mending kamu Kang Dirman! Coba dari jam 5 pagi aku sudah ke pasar
belanja sayur. Eh, baru satu dua piring makanan terjual, demo datag lagi.” Bang
Abdullah pun segera menutup warungnya, meski Kang Dirman sudah mengayuh
becaknya untuk ngeloyor pergi.
***
Ilalang yang menonton demo di pinggir jalan menjadi terbelalak matanya.
Dada mereka berguncang hebat. Pembuluh nadi serasa berhenti berdenyut. Sebagian
lagi berlarian ke sana kemari. Teriakan kekhawatiran terdengar di sana-sini,
sementara beberapa tubuh mulai terlihat terbujur di tengah jalan. Tetapi, kedua
kubu belum ada yang mau mengalah. Bahkan mahasiswa pendemo itu semakin brutal
dan bertambah besar jumlahnya yang kini merangsek maju menuju Pom BBM di
pertigaan jalan pengap itu.
“Jo, mereka akan membakar pom bensin!” teriak Dirman pada Warjo tukang tambal ban, yang
membiarkan begitu saja kompresornya di pinggir jalan.
“Kita cegah mereka!” pinta Warjo. “Jangan, kita tidak bisa. Itu tugas
polisi. Kita menyelamatkan saja warung warung kita,” jawab Dirman. “Tapi kita tidak boleh tinggal diam!”
seru Warjp. “Kita harus bagaimana?”
tanya Kanapi. “Kita hanya bisa menolong
korban-korban itu,” jawab Warjo. “Oh, itu
tindakan yang baik, kita angkat saja korban yang pingsan, kita bawa ke
sini!” usul Santoso.
“Wah, bahaya kita nanti bisa kena lemparan batu, “ jawab Warjo. “Ha, aku
punya ide baik, bagaimana kalau kita membuat bendera dari kain apa saja, kita
kibaskan ke tengah mereka, sementara
lainnya mengangkat korban yang terkapar, gimana?” usul Kanapi kepada mereka
yang ikut merasa prihatin.
Mereka pun berlarian ke sana kemari, mencari kain apa adanya untuk
membuat bendera. Kini mereka telah berada di tengah dua kubu yang bertikai.
Bahu, lengan, dan baju mereka berlepotan noda darah dari korban yang terkapar di tengah aspal yang membara. Sementara sinar
matahari bertambah ganas memungut episode duka nestapa antara anak negeri.
Kini belasan korban telah berjejer di bawah pohon akasia. Sebagian
mereka merintih kesakitan. Sebagian lagi
diam terbujur dan beberapa di antaranya sudah mampu duduk kembali dengan mulut
yang merintih kesakitan. Para ilalang itu dengan kendaraan apa saja kini bahu
membahu membawa mereka ke rumah sakit.
Sementara matahari mulai condong ke barat, asap masih mengepul dari
pompa bensin yang terbakar. Pecahan kaca, batu, kayu dan lain sebagainya masih
berserakan di sana sini. Tetesan darah masih belum kering dihisap
debu-debu jalan. Berpuluh petugas polisi masih berjaga di sepanjang jalan itu.
Suasana kini menjadi lengang. Belum ada kendaraan yang melewati jalan itu.
Ilalang pun kini menyandarkan tubuh mereka di warung warung mereka yang
berantakan. Entah besok masih ada hari untuk mereka di kota pengap ini.