Judul: 40 Tahun Jadi Wartawan – Karni Ilyas Lahir untuk Berita
Oleh: Fenty Effendy
Penerbit: Kompas Media Nusantara
Cetakan: I, Oktober 2012
ISBN: 798-979-709-671-7
Oleh: Fenty Effendy
Penerbit: Kompas Media Nusantara
Cetakan: I, Oktober 2012
ISBN: 798-979-709-671-7
ADA orang yang hidup jadi pengkhianat. Ada yang akhirnya jadi pahlawan. Biasanya keduanya berada di tempat yang berbeda dalam sejarah.
Karni Ilyas dilahirkan untuk menjadi pemburu berita (news hunter). Ia mengkhianati masa lalunya yang pahit, menggantikannya dengan keberhasilan semanis madu dari buah kerja keras yang seolah tak pernah selesai.
“Apa pun pernah saya lakukan, apa pun pernah saya jual untuk menyambung hidup dan pendidikan. Bermimpi itu halal. Tapi ada syaratnya, yaitu kerja keras, kerja keras, dan kerja keras,” katanya.
Anak sulung dari pasangan Ilyas Sutan Nagari-Syamsinar ini dinamakan Sukarni. Ia lahir di rumah kakek-neneknya, Datuk Basa dan Saibah, pada 25 September 1952. Rumah itu terletak di Johong Pahambatan, Balingka. Tepat di kaki Gunung Singgalang, sembilan kilometer dari Bukit Tinggi, Sumatra Barat.
Tak lama di sana, rumah kakek-neneknya dihancurkan tentara dalam kecamuk perang saudara PRRI, memaksa orangtuanya pindah ke Padang. Mereka kemudian menetap di Kampung Jao. Ayahnya membuka Toko Penjahit Malaya di Pasar Goan Hoat.
Di pasar itu, Karni menghabiskan masa kecilnya sampai remaja. Dari berteman main domino dengan para kuli angkut beras, dia mengawali peruntungannya sampai menjadi kaki-tangan Si Baro – kepala preman di sana. Si Baro yang selalu memberi uang jasa atas informasinya mengenai kedatangan truk yang melakukan bongkar-muat beras di gudang. Uang pemberian itu digunakan Karni untuk membeli buku, sepatu, dan keperluan sekolah.
“Saya (juga) biasa (menjual koran) ke (Pelabuhan) Teluk Bayur berjalan kaki, bahkan di bulan puasa... Kalau koran habis, saya bisa pulang naik kereta api. Tapi, kalau banyak yang tidak laku, saya terpaksa berjalan kaki sembilan kilometer lagi (pulangnya). Saya bisa melakukan itu sambil tetap berpuasa,” (halaman 18).
Ia berjualan apa saja: rokok, permen, kaos kaki, minyak rambut, hingga kupon kode buntut! Pernah juga mencari uang dengan cara mengumpulkan tanah di sela-sela trotoar di depan toko-toko emas. Tanah yang dikumpulkannya itu biasanya bercampur debu emas yang dibuang pemilik toko setelah mengikir emas untuk dijadikan perhiasan. Oleh Karni, serpih-serpihan itu dia panaskan sehingga membentuk kumpulan emas, lalu dijual kembali.
“Saya mulai menulis kelas 1 SMA. Topiknya apa saja. Kepala SMEA saya bahkan pernah marah karena pidatonya tahu-tahu sudah dimuat di koran Haluan, lengkap,” (halaman 24).
Penghujung Desember 1971, setelah mengantungi ijazah SMEA 1 Padang, Karni berangkat ke Jakarta naik KM Batanghari dari Pelabuhan Teluk Bayur. Bekalnya di kantong hanya Rp5 ribu, sedangkan ongkos kapal Rp17.500. Ia tahu, kalau gagal di rantau, tak ada lagi ongkos pulang.
Hidup menumpang di rumah sepupunya di Tanjung Priok, lama-lama dia merasa tak enak. Saat itu, Karni menempuh kuliah di Perguruan Tinggi Publisistik (PTP). PTP ialah perguruan tinggi yang menjadi cikal-bakal Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, sekarang.
Ia memutar akal, mencoba peruntungan kedua dalam hidupnya, dengan menjadi wartawan. Harian Abadi di Jalan Kramat Raya pilihan pertamanya karena sejak di Padang karyanya beberapa kali dimuat di koran ini. Lampu hijau dinyalakan Wakil Pemimpin Umum, Ali Mochtar Hoetasoehoet. Tapi “honornya kecil, dan berdasarkan pengalaman susah ditagih...” (halaman 34), Karni urung melangkah.
Harian Suara Karya yang baru satu tahun didirikan sejumlah kader Golongan Karya menarik minatnya. Pemimpin redaksi, Rahman Tolleng, setelah mengetes mental Karni, langsung menyuruhnya masuk kerja esok harinya.
Sejak itu, Karni mulai merajut reputasi sebagai wartawan kriminal. Pindah dari Harian Suara Karya, dia meniti karir di Majalah Tempo. Prinsipnya, setiap berita adalah usaha. Teman setianya, sepedamotor butut, yang tiap pagi sebelum berangkat kerja harus ditambal tangki bensinnya dengan sabun batangan karena minyaknya sering menetes ke mesin. Tetesan itu berbahaya, motornya bisa terbakar (halaman 82).
Di majalah itu, dia makin melaju. Karni menyaksikan eksekusi hukuman mati terhadap Henky Tupanwael oleh pasukan Brimob di Madura. Artikelnya muncul dengan judul “Pasal Itu Ditembakkan Lagi” (Majalah Tempo, 12 Januari 1980) meski tanpa nama penulisnya. Ke Jenewa, Swiss, dia berangkat buat mewawancarai Kartika Thahir, ketika sejumlah wartawan gagal mengejar sang sumber.
Lepas dari itu, Karni memimpin FORUM Keadilan (halaman 165). Di majalah inilah awalnya digelar diskusi bulanan tentang hukum bekerja sama dengan Jakarta Lawyers Club (JLC). Mantan Presiden RI, BJ Habibie, pun sempat mengakui kiprahnya, “Anda yang memulai keterbukaan dengan pemberitaan sejak tahun 1992 sampai 1998,” (halaman 291). Pengakuan itu ditandai Bintang Mahaputera yang dianugerahkan pada 1999, tapi Karni memilih tidak hadir di Istana Negara lantaran merasa belum layak menerimanya.
Dipecat FORUM Keadilan, dia menakhodai layar Liputan 6 SCTV. Baru setahun di sana, Jenderal Purnawirawan Hendropriyono memberitahu: “Eh kamu ditunjuk Ibu Mega jadi Jaksa Agung!” Karni menolak tawaran untuk duduk di Kabinet Gotong Royong (halaman 326-327). Tapi di masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri pula, ternyata idenya banyak berguna. Saat ikut diajak dalam lawatan pertama ke Amerika Serikat, Karni memicu asal-mula pesawat kepresidenan menyediakan smoking-flight gara-gara kebiasannya merokok! (halaman 329). Mantan wartawan kriminal itu juga yang memberi nama Bandara Internasional Minangkabau di Padang pada 22 Juli 2005 (halaman 330).
Lantas, dia pindah sejenak ke antv (2005-06). Terakhir, sejak 2007, Karni menjadi pemimpin redaksi sekaligus pembawa acara di TV One.
Kepalanya yang dihiasi rambut uban berbentuk lingkaran bulat tanda tanya. Ia masih ingin tahu ini-itu tentang segala sesuatu. Kendati napasnya mulai pendek-pendek dan suaranya telah lama parau. Karni Ilyas terus memburu berita!
0 komentar:
Posting Komentar