Judul : Panduan Jurnalis Meliput Terorisme
Penulis : Hadi Rahman dkk
Penerbit : AJI Jakarta
Cetakan : Pertama, 2011
Tebal : viii + 222 halaman
ISBN : 978-979-16381-5-9
Penulis : Hadi Rahman dkk
Penerbit : AJI Jakarta
Cetakan : Pertama, 2011
Tebal : viii + 222 halaman
ISBN : 978-979-16381-5-9
Secara tradisional sebuah berita harus berkembang dari akar yang kuat, dari retorika. Mitchel V. Charn dalam buku Reporting menyatakan bahwa berita merupakan laporan tercepat mengenai fakta atau opini yang mengandung hal yang menarik minat atau penting, atau kedua – duanya, bagi sejumlah besar penduduk.
Kemampuan menulis berita memang tidak semua orang memilikinya seorang wartawanlah yang mempunya pekerjaan menulis. Banyak cerita yang terjadi saat para wartawan melakukan peliputan khusunya tentang terosisme.
Buku yang di gagas oleh Tim Aliansi Jurnalis Independen (Tim AJI) Jakarta ini meragkai cerita – cerita yang terjadi saat peliputan terorisme di Indonesia. Pengalaman para jurnalis ini terekan dalam buku saku setebal 222 halaman yang memuat semua komplehsitas isu – isu terorisme di Indonesia.
Frank Luther Mott dalam buku New Survey of Journalism menyatakan bahwa ada delapan konsep berita: Berita sebagai laporan tercepat (news as timely report), berita sebagai rekaman (news as record), Berita sebagai fakta objektif (news as objective fact), berita sebagai interpretasi (news as interpretation), berita sebagai sensasi (news as sensasion), berita sebagai minat insani (news as human interest), berita sebagai ramalan (news as prediction), dan berita sebagai gambar (news as picture) sudah terangkum jelas di dalam buku ini yang terlihat dari pengalaman para jurnalis yang menceritakannya. Cerita – cerita yang berada di dalam buku ini seolah – olah berbicara langsung kepada pembaca tentang rangkaian fakta di balik sebuah berita dan menuntuk pembaca untuk mengurai dari mana dan bagaimana konstruksi fakta tersebut terbentuk.
Hal yang di tonjolkan dalam buku ini adalah masalah pemetaan masalah. Selain itu wartawan yang sedang meliput terorisme daharuskan mempunyai sikap skeptis dan melakukan riset secara mendalam agar terjadi sebuah berita yang tidak membosankan dan menjadi hal yang baru dalam informasi mengenai terorisme.
Menurut Hasudungan dalam buku ini, seorang jurnalis harus memiliki dan memahami sebuah hakikat teroris. Kedua, jurnalis harus memiliki dan mampu mengenal struktur konflik yang jurnalis itu liput. Tanpa kedua hal tersebut maka hasil reportasi akan terlihat mentah dan kurang mendalam dan pastinya kurang akurat.
Tapi dalam buku ini sebuah analisis konflik harus di dahului oleh riset yang memdalam agar memperoleh informasi yang cukup dan bisa di pertanggungjawabkan. Tanpa sebuah informasi yang cukup makan sebuah analisis akan terasa hambar dan tidak ada rasanya sama sekali alias gagal.
Selain hal–hal tentang peliputan teroris dalam buku ini juga terdapat sejarah teroris di Indonesia dan dunia islam secara luas atau global yang berada di dalam bab 6. Sejarah tersebut dimulai dari munculnya Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia yang dulu di pimpin Kartosoewiryo pada awal kemerdekaan Indonesia hingga Jama’ah Islamiayah yang di pimpin oleh Abdullah Sungkar dan Abubakar Ba’asyir.
Mengapa buku ini berjudul Panduan Jurnalis Meliput Terorisme? Karena ada hal – hal yang bisa menjadi acuan dalam liputan mengenai teroris. Salah satunya adalah buku ini menjelaskan karakteristik organisasi terorisme; mulai dari pola rekrutmen, area oprasi, strukturorganisasi, pendanaan dan pola jaringan.
Buku ini sangat berguna bagi kalangan jurnalis yang sedang meliput terorisme untuk mengidentifikasi masalah. Dengan argumentasi isu – isu terorisme tidak akan lepas dari sejarah terjadinya organisasi atau gerakan – gerakan radikal baik lokal atau internasional.
Dengan memahami sebuah gerakan radikal yang ada di Indonesia diharapkan hasil reportasi akan lebih mendalam, jernih dan akurat. Selain itu hasil liputan tidak sebuah bias wartawan dan pemahaman sempit yang sepihak dari seorang peliput berita atau wartawan.
Kualitas Berita Jurnalis
Kualitas suatu karya jurnalis seorang wartawan dapat diukur dengan seberapa dalam sang journals tersebut memahami isu yang ada dan seberapa trampil dia memosisikan dirinya pada titik moderat pada sebuah peristiwa sensitive yaitu terorisme. Jika sebuah karya jurnalis dianggap gagal adalah jika hasil reportasenya berat sebelah atau memihak. Dapat diambil kesimpulan bahwa wartawan yang reportasenya gagal adalah wartawan yang lebih dekat dengan polisi atau bahkan sebaliknya. Karena pernah ada seorang reporter yang juga terlibat terorisme.
Dalam buku ini menyatakan bahwa seorang tersangka terorisme mempunyai hak yang sama dengan narasumber lain. Selain itu wartawan juga wajib menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah.
Buku ini sangat dianjurkan dibaca oleh para jurnalis, khususnya jurnalis pemula. Karena pada akhir buku ini ada beberapa tips – tips untuk melakukan liputan. Walaupn buku ini bayak mengadobsi peliputan konflik tapi buku ini bisa membuat kita memahami sebuah pentingnya analisis dari sebuah cerita dibalik fakta.
Dalam buku Panduan Jurnalis Meliput Terorisme ini menitikberatkan pada beberapa hal penting untuk seorang teroris. Dapat disimpulkan bahwa tidak semua berita yang melapokan tentang terorisme menghasilkan hal yang memuaskan pembaca dan bahkan terkesan menjenuhkan. Hal tersebut disebabkan karena factor peliputan yang sangat dangkal dan sekadar Cuma bombastis. Selain itu tak jarang juga para jurnalis terjebak pada sebuah berita omong – omong saja. Bahkan media bisa dijadikan sebagai alat propaganda oleh beberapa orang yang tak bertanggung jawab.
Semoga buku ini bisa mengubah peliputan jurnalis dalam kasus terorisme yang seringkali terkesan sangat bombastis hanya mengejar isu – isu tapi tidak mejelaskan dan terlalu mendramatisasi keadaan itulah yang sering terjadi. Semoga.
Peresensi: Imam Khanafi
Penulis tinggal di Kudus, Jawa Tengah
0 komentar:
Posting Komentar